Ads Top

SEJARAH DESA SUNGSANG

Sungsang Water Front City

ASAL-USUL DESA SUNGSANG

Sungsang menurut asal-usul dan catatan sejarah yang dihimpun dari cerita orang tua dahulu adalah sudah ada sejak abad ke-14, akan tetapi  tahun yang pastinya tidak tercatat dalam sejarah.
Dahulu tempat ini hanyalah sebuah hutan yang penuh dengan rawa-rawa dan tidak ada penduduk yang hidupnya menetap. Tempat ini dinamakan Pulau Percul.

                Menurut Sohibul Hikayat, pada zaman dahulu telah mengembara seorang dari Pulau Jawa (Pulau Dwipa) menuju ke Pulau Sumatera (Pulau Andalas), tepatnya Palembang yang bernama Pojang Cinde Kirana, untuk tujuan mencari nafkah dengan berniaga (berdagang).

                Tapi malang baginya, di kuala sungai Musi, perahu yang ditumpanginya terdampar karam, sehingga pengembara tersebut tidak dapat melanjutkan perjalanannya.
Menurut bahasa penduduk waktu itu, “terdampar” adalah “terangsang”, dan istilah inilah yang melahirkan nama “Sungsang’.
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa air di Batanghari ini (di hadapan dusun), pada saat air pasang yang di pinggir di muka dusun airnya ke hulu, ini juga dinamakan “Sungsang”.

                Ada pula yang mengatakan, di zaman dahulu di daerah Banten (Jawa Barat) terdapat seorang yang terkenal kesaktiannya yang bernama Demang Lebar Daun.
Pada waktu beliau melakukan perjalanan menuju ke arah Barat menyeberangi Selat Sunda setelah beberapa lama ia berlayar, kemudian terdampar (tersangsang) di daerah pinggir pantai.
Daerah tempat terdamparnya inilah yang sekarang dinamakan Sungsang, yang tadinya berasal dari kata Sungsang atau terdampar.
Di daerah Sungsang inilah kemudian Demang Lebar Daun mengembara dan bermukim serta memperistri putri dari kerajaan Sriwijaya (Palembang) dan mengembangkan keturunannya yang merupakan “nenek moyang orang Sungsang”.



      CATATAN SEJARAH MARGA SUNGSANG

Menurut hasil penyelidikannya, Pojang Cinde Kirana mengatakan bahwa wilayah ini sangat strategis  dan baik untuk mengembangkan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama dari hasil laut (ikan).
Maka beliau langsung mengumpulkan kayu-kayu dan membuat pondok di tempat itu untuk tempat tinggal dan tempat berusaha.

                Usaha nya tidak sia-sia, karena setiap hari beliau mendapatkan hasil tangkapan berupa ikan yang banyak dan akhirnya banyak pula orang-orang dari daerah lain mengikuti jejak Pojang Cinde Kirana, tinggal dan berusaha di tempat ini, sehingga pada akhirnya berubah menjadi sebuah perkampungan nelayan yang ramai.

                Adanya perkampungan yang liar (onwettige accupatie) dan belum diketahui itu menjadi pertanyaan dan persoalan bagi Sunan Palembang, karena daerah ini berada di bawah kekuasaannya, sehingga Sunan Palembang mengirim seorang penyelidik untuk mengetahui keberadaan perkampungan yang sebenarnya.

                Dari hasil penyelidikannya itu disimpulkan bahwa orang-orang yang berada disini benar-benar untuk bermaksud baik, yaitu untuk mencari nafkah dan tidak ada tujuan atau kegiatan-kegiatan politik dan akan merongrong  kekuasaan pemerintah (Sunan Palembang), dan bahkan mereka mengakui serta berjanji akan tunduk dan taat setia kepada pemerintahan Sunan Palembang.

                Dan setelah utusan itu kembali lalu memberikan laporan dan saran-saran kepada Sultan, Maka secara resmi Sungsang diakui sebagai satu dusun (Marga). Selanjutnya oleh Sunan Palembang diangkat seorang kepala dusun dengan pangkat NGABEHI yang bernama LADJIM.

                Mengingat hubungan lalu lintas laut semakin bertambah ramai, dan waktu itupun banyak orang-orang Portugis datang ke Palembang untuk tujuan berdagang dan tugas pemerintah bertambah banyak, lebih-lebih menyangkut kepentingan segi keamanan, maka disamping jabatan Ngabehi, oleh Sunan Palembang diangkat pula seorang kepercayaan untuk menjaga kuala dengan pangkat Demang bernama PALUWO.

                Kemudian antara Ngabehi Ladjim dan Demang Paluwo menjalin hubungan kekeluargaan dengan menikahkan anak laki-laki dari Ngabehi Ladjim dan anak perempuan dari Demang Paluwo yang bernama Sipah, dan dari perkawinan ini lahirlah seorang anak yang bernama Hasan.





SEJARAH PERJALANAN PARA PEJUAN DAN PENDIRI SUNGSANG

      A. PERJALANAN PARA PEJUANG DAN PENDIRI SUNGSANG

Seorang Demang Paluwo selain bertugas sebagai kaula, beliau juga berladang di daerah sungai paluwo (di dalam sungai musi). Suatu ketika datang sebuah kapal dari pesiar milik Inggris, yang memasuki Palembang dan meminta kepada Demang Paluwo selaku penunjuk jalan.
Orang-orang Inggris tidak tahu kalau seorang adalah seorang yang sangat dipercaya oleh Sunan Palembang untuk menjaga kaula.
Inggris berusaha untuk membujuk Demang Paluwo dengan memberikan uang sogokan (uang suap) kepada Demang Paluwo, namun usaha itu tidak membuahkan hasil karena Demang Paluwo menolaknya mentah-mentah, mengingat kesetiaannya kepada Sunan Palembang.
Inggris melakukan ini karena ingin masuk ke Palembang dengan kapalnya. Namun Demang Paluwo tidak memberikan izin kepada kapal Inggris untuk masuk ke Palembang, maka terjadilah perlawanan yang sengit antara Demang Paluwo (sebagai patriotic) dengan pasukan kapal Inggris.
Dalam pertikaian itu banyak awak kapal Inggris yang mati, begitu juga dengan Demang Paluwo gugur dalam pertarungan tersebut.

                Dengan mengingat banyaknya korban, lalu kapal Inggris memutar haluan kembali ke laut, dan membatalkan niatnya untuk masuk menuju Kesultanan Palembang.
Korban-korban dari orang Inggris itu banyak yang terdampar di sebelah pulau kecil yang sekarang disebut Pulau Senggeris (Dalam sungai Musi).
Tidak berapa lama dari kejadian itu, Ngabehi Ladjim meninggal dunia, karena sakit.
Selama masa jabatannya, marga Sungsang dalam keadaan aman terkendali.
Atas perhatian Sunan Palembang, maka diangkat penggantinya, yaitu seorang yang bernama Kerangga (tidak dikenal nama aslinya).
Pangkat ini hanya sementara waktu karena Hasan (Anak hasil perkawinan Kusen dan Sipah) belum sampai umur untuk diangkat menjadi pengganti kakeknya yaitu Ngabehi Ladjim.

                Dan setelah mencapai umur yang ditentukan, Hasan diangkat menjadi Demang menggantikan Ngabehi Kerangga yang telah memerintah marga Sungsang sementara waktu.
Kira-kira selama 30 tahun memangku jabatannya, Demang Hasan wafat dengan meninggalkan 6 orang anak (5 laki-laki dan 1 perempuan) yang bernama :
      1. Oesen                                                                   4. Nasarudin
      2. Kebut                                                                    5. Asinah
      3. Kebat                                                                    6. Oemar

Pada akhir masa jabatan sebagai Demang di Marga Sungsang, Kesultanan Palembang sudah mulai dikuasai Belanda. Tidak lama setelah kesultanan Palembang berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda, diangkatlah Oesen menjadi Ngabehi untuk menggantikan orang tuanya Demang Hasan.
Dan kira-kira 2 tahun menjabat sebagai Ngabehi, beliau menderita sakit dan akhirnya mohon untuk diberhentikan dari jabatan.
                Pihak pemerintah Belanda kemudian berinisiatif mengangkat saudara Oesen yaitu Nasarudin menjadi Ngabehi menggantikan kakaknya Oesen.
Selama 10 tahun menjabat, beliau difitnah oleh anak buahnya sendiri dengan tuduhan memberikan daging kerbau mati tanpa disembelih kepada orang-orang yang berada di kapal perang yang sedang menjaga Kuala Sungsang. Atas tuduhan ini Ngabehi Nasarudin diberhentikan dari jabatannya dan dihukum penjara selama 3 (tiga) tahun lamanya dan jabatan tersebut selanjutnya digantikan oleh Ngabehi Djenal (Bukan keturunan Pasirah).

                Selama menjalani masa hukuman Nasarudin pernah dikirim ke Muara Sabak (Jambi) untuk membuat (Patok) Pal Batu dari Muara Sabak menuju Kota Jambi memalui air. Dan selama 6 bulan masa itu dilaluinya dan beliau mendapat ampunan dari pemerintah Belanda, beliaupun kembali lagi ke Sungsang.

                Selanjutnya, kira-kira setahun sepulangnya Ngabehi Nasarudin dari Muara Sabak (Jambi), datanglah sebuah kapal dagang Cina dari Betawi (sekarang Jakarta) yang akan  masuk ke Palembang, akan tetapi kapal tersebut dialangan siam (kuala) Sungsang dan orang dari kapal tersebut bernama Letnan Putih naik ke Perkampungan Sungsang untuk meminta pertolongan kepada Ngabehi Djenal, akan tetapi Ngabehi Djenal menolak dan tidak mau memberikan pertolongan. Selanjutnya Letnan Putih pergi menemui Nasarudin (mantan Ngabehi) untuk meminta pertolongan dan Nasarudin dengan dibantu oleh beberapa penduduk Sungsang lainnya memberikan pertolongan.
Dengan membawa dan menggunakan perahu-perahu untuk membongkar muatan dari kapal tersebut, dan akhirnya kapal tersebut telepas dari alingan (tempat yang diangkat) dan kapal dagang Cina tersebut langsung berangkat ke Palembang melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di Palembang Letnan Putih melapor kepada residen Palembang bahwa mereka telah dibantu oleh Nasarudin (Mantan Ngabehi)

                Akibat laporan ini, Ngabehi Djenal dipanggil ke Palembang dan langsung diberhentikan dari jabatannya, Nasarudin lalu dipilih oleh rakyat Sungsang untuk menjadi Ngabehi kembali menggantikan Ngabehi Djenal atas ketetapan residen Palembang selama kurang lebih 35 (tiga puluh lima) tahun, Ngabehi memimpin marga Sungsang, beliau menderita sakit dan meninggal dunia. Sementara itu beliau meninggalkan anak kesayangannya bernama Muh Hasan yang belum sampai umur untuk menggantikan posisi beliau. Sementara jabatannya belum ada yang menjabatinya, lalu ngabehi akhirnya dijabat sementara waktu oleh Lurah Muharram, masa jabatannya selama ±8tahun.

                Sesudah Muhammad Hasan dewasa, maka atas ketetapan residen Palembang jabatan Ngabehi tersebut dilimpahkan kepada Muh.Hasan. selama menjabat sebagai Ngabehi ±50 tahun, Beliau pernah dianugrahi oleh pemerintah Belanda dengan dua bintang jasa, yaitu sebuah bintang perak dan sebuah bintang emas dan kemudian beliau minta berhenti karena sudah tua. Beliau mempunyai 3 orang anak, seorang anak laki-laki dan dua orang perempuan yang bernama :
      1.       Dr.Ningayu
      2.       Nasarudin
      3.       Rd.Ningcik

sesudah Muh.Hasan berhenti sebagai Ngabehi, jabatan tersebut digantikan oleh menantu angkatnya yaitu Ngabehi H.Abdul Hamid yang dipilih oleh rakyat. Lamanya Ngabehi H.Abdul Hamid menjabat selama 35 tahun dengan gelar Karti Duta, dan dianugerahi sebuah bintang perak besar dan diangkat menjadi pangeran. Dikarenakan usianya yang sudah tua, kemudian beliau mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh anaknya H.Abd Rasjid atas pilihan kepala-kepala dusun/kampong dan lid-lid raad marga. Beliau memegang jabatan selama ±10 tahun, antara tahun 1933-1942 dengan gelar Ngabehi IV. Beliau diberhentikan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1943 dan diganti sementara waktu oleh Rd.Abu Bakar (Tjikwan) dari Palembang atas ketetapan pemerintah Jepang C.q Gunco Rd.Ahmad Bakri (Demang Cek Bakri). Tidak lama kemudian beliau akan diangkat lagi oleh pemerintah Jepang, namun beliau tidak bersedia lagi dan mengundurkan diri dari jabatannya.
                Pada tahun 1944 diadakan pemilihan pesirah secara langsung oleh rakyat. Dan Nasarudin (anaknya Ngabehi Muh.Hasan) terpilih menjadi pasirah, pasirah Nasarudin hanya memerintah ±3 tahun (1944-1947). Pada waktu 1947 dibawah pemerintahan RI diadakan lagi pemilihan pasirah, dan Nasarudin terpilih lagi menjadi pasirah sampai tahun 1953 ±10 tahun.

                Pada tahun 1954 beliau mengundurkan diri, dan jabatan pasirah diserahkan kepada Pemborab M.Anwar yang hanya menjabat ±1 tahun (1954-1955). Pada tahun 1955 oleh pemeringah RI diadakan lagi pemilihan pasirah, yang terpilih ialah Abd.Rachman bin H.Ahmad dengan gelar Candra Tunggal, lamanya jabatan hanya ±13 tahun (1956-1968).

                Pada tahun 1969 oleh pemerintah RI diadakan lagi pemilihan pasirah. Hasil dari pemilihan pasirah tersebut ialah terpilihnya Khak bin H.Usman dengan gelar Pangeran Besar dilantik pada tanggal 30 April 1969.

      B.      BAHASA
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh Sungsang Marga termasuk bahasa Palembang, Jawa dan Melayu.

                Dusun ini hanya mini saja, tetapi dibagi 4 kampung :
          1.       Kampung I
          2.       Kampung II
          3.       Kampung III
          4.       Kampung IV

      C.      PERTALIAN ADAT
Adat istiadat dalam marga Sungsang sama seperti adat Palembang, dan marga ini tidak ada pertalian adat dengan marga lain.  Pertalian adat dalam marga ini seadat dengan serasan yang menjadi sebuah urusan adat dalam marga ialah Ngabehi (Pasirah) dan bawahannya yang mengatur peristiwa dalam masyarakat. Lurah (proatin, kerio dan kliwon/pengawa) persengketaan dalam adat di dusun ini yang kecil diurus oleh kliwon (pengawa) dalam kampong pegangannya dan persengketaan dalam adat yang besar atau tidak terurus oleh kliwon (pengawa) di urus oleh lurah (proatin/ kerio) dan seterusnya hal-hal yang bertalian dengan adat diurus oleh Ngabehi (pasirah).

                Dalam urusan kemid dan gawe jalan (jerambah) diatur oleh Ngabehi (Pasirah) dengan sesuai keperluan dalam kampong masing-masing. Berkenaan dengan kemid  dalam semua kampung, tanggung jawab dipikul bersama dan yang mengatur masing-masing mata gawe adalah yang bertugas menjalankan kemid dan melaksanakan gawe dusun yang diatur oleh lurah.

                Untuk mengerjakan jalan (jerambah) dusun tidak dilakukan bersamaan lagi bagi tiap-tiap kempung melainkan melihat keadaan panjang pendeknya jalan (jerambah) bagi masing-masing dusun. Pekerjaan membuat jerambah dikerjakan oleh penduduk itu sendiri  dengan pembagian kerja yang adil.
                Dahulu kala mata gawe yang menjalankan tugas kemid ditugaskan kepada marga untuk perdagangan, keamanan dari gangguan-gangguan bajak laut dan lain-lain adalah tugas masyarakat. Sebagian masyarakat dalam melakukan pekerjaan seperti nelayan mereka membawa alat-alat menangkap ikan seperti tuguk, pancing, dan lain-lain. Maka oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya pemerintah memberikan surat pengakuan hak usaha tanah untuk berkarang (menangkap) seperti Tanjung Lago, hak usaha tanah tersebut sudah beratus-ratus tahun dan turun temurun hingga sampai sekarang menjadi milik marga Sungsang. Tetapi oleh karena di Sungsang mengalami bencana alam seperti kebakaran maka surat-surat asli mengenai hak usaha tanah marga banyak terbakar dan hilang, tetapi hak usaha pelelangan marga sungsang seperti lebak lebung masih tetap ada.

                Tanah tungguan ditempati itu tidak dilelang karena hak usaha pusaka dari fulan ke fulan.

      D.      KEADAAN PENDUDUK
Penduduk Sungsang berasal dari orang pendatang (orang tumpang) yang bebas mempunyai pekerjaan dalam dusun, akan tetapi jika ia berladang harus membayar sewa bumi dan lain-lain.
Kewajiban yang ditentukan oleh marga Sungsang dan orang yang telah tercatat dalam buku jiwa di Marga ini mereka diharuskan mempunyai kewajiban dan hak sebagai penduduk asli, seperti gawe marga dang awe dusun, kemid dan lain-lain dan jika ia berladang tidak dikenakan membayar sewa bumi dan lain-lain. Penduduk asli harus tunduk dan patuh pada kewajiban yang diwajibkan oleh marga (dusun) sepanjang adat didalam marga dan dusun (kampung).

      E.       RAAD MARGA
Dahulu pemerintahan di pegang oleh Ngabehi (pasirah) lurah (proatin) dan tidak ada lid raad, baik dipilih atau tidak dengan tugasnya masing-masing yaitu :
      a.       Pesirah selaku voorsitter
      b.      Pembarab
      c.       3 (tiga) lurah
      d.      4 (empat) lid pilihan
Masa pemerintahan di Sungsang di pegang oleh 9 orang, walaupun diwaktu itu diadakan Lid Raad pilihan tetapi belum dapat dipastikan kemajuan dan keselamatan marga, karena bagi mereka yang duduk menjadi Lid Raad marga adalah mengemukakan buah pikirannya yang dapat mendatangkan sesuatu perubahan guna kebaikan marga yang selalu setuju dalam segala persoalan yang dipertimbangkan dalam sidang.
                Lid-lid tidak diberi gaji melainkan dibabaskan gawe raja, gawe marga dan dusun dan sekarang dalam pemerintahan dewan marga dipilih secara langsung oleh rakyat yang berumur 17 tahun keatas menurut peraturan daerah provinsi Sumatera Selatan No.3/DPRD-GR.SS/1967, dan anggota dewan marga sekarang diberi gaji, ketua dan wakil ketua DPRD, marga diberi honorarium menurut kemampuan keuangan marga.

      F.       MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian penduduk Sungsang yaitu berkarang (menangkap ikan). Mengambil daun nipa, dan pucuk nipa dan yang berladang padi atau berkebun hanya segelintir orang saja. Sehingga tidak mencukupi beras dan sayur-sayuran di dalam marga ini. Semua bahan pokok sehari-hari didatangkan  dari  Palembang dan sekitarnya, dan daun nipa dibikin kajang dan atap serta pucuk daun nipa dibikin rokok pucuk (rokok nipa).

                Pada tahun 1965-1967 daerah Sungsang  di datangi oleh suku Bugis dari kampung laut Jambi dan Sulawesi (transmigran lokal). Untuk memenuhi kebutuhan akan bahan pokok ladang pasang surut pemerintah mendatangkan pula para transmigrasi dari Jawa Barat dan Bali pada tahun 1969-1970.
Dari hasil pertanian ini sudah dapat dikatakan memuaskan dan sebagian besar dapat memenuhi kebutuhan beras dalam marga ini, serta sayur mayor yang sudah dapat dihasilkan oleh penduduk Sungsang sendiri, jumlah areal tanaman kelapa kurang lebih 400 Ha dan pada tahun 1975 sudah membawa hasil. Semua hasil ini dibawa ke Palembang dan Bangka karena daerah Sungsang belum mempunyai pasar (kalangan) dan baru pada tahun 1963/1970 didirikan pasar atas bantuan pemerintah (PMD) tetapi belum menunjukkan kemajuan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.